Oleh: Amar, Ketua DPD CMMI Provinsi Gorontalo
Politikal – Menjelang aksi besar mahasiswa dan rakyat pada hari ini, keresahan publik terhadap ritel modern Alfamart kembali menyeruak. Bukan sekali dua kali, melainkan berulang! voucher digital yang raib, sistem pembayaran error, hingga pelayanan kasir yang dingin dan jauh dari ramah.
Kasus terbaru menyingkap borok yang sulit dibantah. Seorang pelanggan membeli voucher Google Play Rp63 ribu. Uang sudah dibayar, struk sudah tercetak, tapi saldo tak kunjung masuk. “Kalau begini berarti saya cuma beli angin. Alfamart itu kan merchant resmi, seharusnya mereka bertanggung jawab, bukan malah menyuruh pelanggan ribut sendiri dengan Google Play,” keluhnya.
Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kepercayaan. Sayangnya, jawaban Alfamart selalu klise: “hubungi pusat bantuan, tunggu 1×24 jam”. Klarifikasi Koordinator Area, Ibu Grasella, pun terdengar normatif transaksi dianggap sukses, kemungkinan masuk ke akun lain, dan konsumen diminta menghubungi Google Play.
Pertanyaannya?, apakah itu menyelesaikan persoalan, atau justru menegaskan Alfamart memilih aman dengan berlindung di balik prosedur, sambil melempar beban ke pelanggan?
Publik semakin geram. Klarifikasi yang manis di telinga tapi hambar di hati konsumen hanya mempertegas kesan: Alfamart tumbuh menggurita, tapi gagal membuktikan kepedulian. Ironinya, di tengah warung kecil dan pedagang tradisional yang kian terpinggirkan, konsumen yang beralih ke Alfamart pun akhirnya merasa ditipu.
Namun satu hal perlu digarisbawahi: karyawan Alfamart bukanlah musuh masyarakat. Kasir, pramuniaga, dan staf lapangan hanyalah ujung tombak yang bekerja dengan keterbatasan sistem. Mereka pun sering jadi sasaran amarah konsumen, padahal semua keputusan dan prosedur ditentukan oleh manajemen pusat. Menyalahkan karyawan hanya menambah korban baru.
Karena itu, solusi mestinya diarahkan pada perubahan sistem dan kebijakan perusahaan:
1. Alfamart harus menyediakan mekanisme pengaduan yang jelas, cepat, dan tanggung jawabnya diambil langsung oleh manajemen, bukan dilempar ke konsumen.
2. Karyawan perlu diberi kewenangan dan pelatihan agar bisa menyelesaikan masalah dasar tanpa harus sekadar berkata “hubungi call center”.
3. Perusahaan wajib membuka ruang dialog dengan konsumen, mahasiswa, dan masyarakat lokal agar tak lagi dianggap asing di tengah rakyat.
Hari ini, 1 September, Gorontalo akan menjadi panggung suara rakyat. Aksi mahasiswa bukan hanya bicara isu nasional, tetapi juga keresahan lokal seperti Alfamart. Jika pelayanan tak kunjung diperbaiki, Alfamart bisa menjadi simbol ketidakadilan ekonomi bukti nyata bagaimana rakyat sering diperlakukan remeh.
Klarifikasi teknis sudah tak lagi meyakinkan. Publik ingin bukti nyata, bukan janji basa-basi. Alfamart harus bercermin, hadir untuk melayani rakyat, atau sekadar menghisap keuntungan tanpa peduli dampak sosial? Jika yang kedua, jangan salahkan bila gerai-gerai Alfamart kelak dianggap bagian dari masalah, bukan solusi.
Gorontalo bukan tanah kosong untuk dikuasai. Ia adalah rumah rakyat yang menuntut keadilan. Dan jika Alfamart tak berbenah, publik sendirilah yang akan menjawab pertanyaan itu! mungkin, kehadiran Alfamart di Gorontalo memang sudah tak ada gunanya lagi.