Politikal – Pemerintah memastikan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang belakangan menembus di atas asumsi APBN 2025 tidak akan mengganggu ruang fiskal.
Data Refinitiv mencatat, Selasa (23/9/2025) pukul 14.46 WIB rupiah berada di Rp16.660 per dolar AS.
Angka ini lebih tinggi dari asumsi APBN 2025 sebesar Rp16.000 per dolar.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menegaskan, fluktuasi kurs dipengaruhi ketidakpastian global. Pemerintah, kata dia, terus menjaga stabilitas hingga akhir tahun.
“Ini kan jadi dinamikanya sangat berfluktuasi kalau kurs itu, terdampak oleh kebijakan global juga, tapi kan kita jaga,” kata Febrio melansir CNBC Indonesia, Selasa (23/9/2025).
Ia menjelaskan, pergerakan rupiah sudah terjadi sejak awal tahun. Rupiah pernah menyentuh Rp16.500–Rp16.700, sempat menguat ke Rp16.200, lalu kembali melemah.
“Tahun ini misalnya kita mulai di awal tahun cukup tinggi Rp16.500-16.700. Pernah menguat juga ke Rp16.200, sekarang balik lagi, ini adalah fluktuasi yang harus kita kelola,” tegasnya.
Menurut Febrio, pemerintah menjaga kurs dengan mendorong ekspor agar surplus perdagangan tetap terjaga.
Surplus itu dinilai bisa memperkuat rupiah karena menambah pasokan dolar.
“Kalau ekspor kita tumbuh lebih tinggi seperti sekarang, lebih besar dari impor, sehingga surplusnya tercipta, itu menyumbang pada penguatan rupiah,” ujar Febrio.
Selain itu, arus modal asing juga menjadi perhatian.
Pemerintah bersama otoritas moneter mengelola capital inflow dan outflow agar keseimbangan transaksi berjalan tetap stabil.
“Di sisi lain kita ada capital flow, ada foreign direct investment, ada capital outflow untuk masuk ke portofolio atau keluar. Nah itu sisi financial accountnya ini yang setiap saat kita kelola, dan itu tentu bukan hanya pemerintah, kita juga koordinasi dengan kebijakan moneter. Kesimbangan itu kita kelola untuk fluktuasinya bisa cukup terjaga,” jelas Febrio.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Luky Alfirman menambahkan, gejolak kurs dapat berpengaruh terhadap belanja subsidi energi. Namun, ia menekankan pemerintah akan tetap hati-hati.
“Jadi kami masih ambil strategi yang hati-hati dan prudent. Pemerintah kan juga masih punya kewajiban ke BUMN penyedia listrik bersubsidi yang masih harus kita perhitungkan,” kata Luky.
Data Kemenkeu menunjukkan, realisasi subsidi dan kompensasi hingga Agustus 2025 mencapai Rp218 triliun. Angka ini lebih tinggi dibanding periode sama tahun lalu Rp208,6 triliun dan tahun 2023 sebesar Rp194,6 triliun.
Kenaikan subsidi dipicu pelemahan rupiah, fluktuasi harga minyak mentah, serta peningkatan konsumsi BBM, LPG, listrik, dan pupuk bersubsidi.